LampuHijau.co.id - Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sedang bekerja keras menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Ketua Komisi VII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, menegaskan bahwa pembahasan RUU ini menjadi momen strategis untuk membenahi sektor pariwisata yang selama ini belum optimal memanfaatkan kekayaan alam dan budaya Indonesia.
Menurut Saleh, revisi UU ini menyentuh empat aspek utama: ekosistem, pendidikan, kelembagaan, dan diplomasi budaya. “RUU ini dirancang untuk mengoptimalkan potensi wisata, dari alam hingga UMKM lokal. Lembaganya harus mandiri dan profesional, pendidikan formal dan non-formal harus diperkuat, dan diplomasi budaya harus digerakkan untuk promosi yang berakar pada identitas nasional,” tegasnya dalam Forum Legislasi "RUU Kepariwisataan : Kebijakan Pariwiata untuk Masa Depan Berkelanjutan" di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (29/7).
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Chusnunia Chalim, yang juga Ketua Panja RUU ini, menyebut ada 12 aspek krusial yang jadi fokus pembahasan. Mulai dari perencanaan hingga diplomasi budaya dan kreasi kegiatan. Ia menekankan bahwa regulasi pariwisata Indonesia tertinggal jauh dari dinamika zaman, padahal daya tarik pariwisata kita tidak kalah dengan negara-negara tetangga.
Baca juga : Keandalan Operasional Kereta Api di Daop 3 Cirebon Kunci Sukses Angkutan Lebaran
“Kita masih tertinggal dari Vietnam, Thailand, bahkan Malaysia. Mereka agresif memasarkan dan menata sektor pariwisata mereka. Kita harus kejar ketertinggalan ini lewat regulasi yang lebih adaptif dan progresif,” tegas politisi PKB itu.
Tak kalah tajam, Taufan Rahmadi, pengamat sekaligus praktisi pariwisata, mengingatkan bahwa pariwisata bukan sekadar soal destinasi indah. Tapi menyangkut keamanan, keadilan, kemanusiaan, kesejahteraan, dan keberlanjutan.
“Kalau tempat wisatanya tidak aman, jangan harap turis mau datang. Kalau hanya menguntungkan investor besar, sementara masyarakat lokal ditinggalkan, maka ini bukan pariwisata yang berkeadilan,” tegas Taufan.
Baca juga : Dongkrak Kunjungan Wisatawan, Pj Bupati Subang Luncurkan Calendar of Event 2025
Ia juga menyinggung soal wisata halal, kriminalitas di lokasi wisata, hingga persaingan tak sehat antara investor asing dan pelaku lokal. Semua itu, kata dia, harus diatur tegas dalam RUU agar tak hanya jadi jargon.
“Pariwisata itu soal manusia. Kalau SDM-nya kuat, berkarakter, dan sejahtera, maka sukses tinggal tunggu waktu. Tapi kalau wisatawan datang dipalak atau diintimidasi, jangan harap mereka balik lagi,” ujarnya lugas.
Kini, publik menanti: apakah revisi UU Kepariwisataan ini benar-benar akan jadi kendaraan percepatan industri pariwisata nasional, atau hanya sebatas tambal sulam regulasi? (Asp)