LampuHijau.co.id - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dinilai terus bergerak menuju wajah baru yang lebih humanis dan responsif, seiring dengan visi “Presisi” yang diusung Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Hal ini mengemuka dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema “Transformasi Polri Menuju Presisi: Menjadi Harapan Masyarakat”, yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bersama Biro Pemberitaan DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (3/7).
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi NasDem, Rudianto Lallo, menegaskan bahwa secara konstitusional, Polri bukan sekadar alat negara, melainkan institusi yang harus berjiwa sipil dan berkarakter kerakyatan. "Pasca TAP MPR Nomor 7 Tahun 2000, Polri tidak hanya mengayomi dan melindungi, tetapi juga harus hadir membumi sebagai mitra rakyat," tegasnya.
Baca juga : Bahas APBD 2024, Pras Komitmen Sisir Anggaran yang Tak Pro Rakyat
Rudianto menyoroti langkah Kapolri dalam menjawab visi besar Presiden Prabowo, khususnya dalam mendukung ketahanan pangan. “Kita lihat peran Polri dalam pendampingan penanaman jagung nasional yang tembus 2,5 juta ton di kuartal kedua, itu bukan hal kecil. Belum lagi keterlibatan Polri menjembatani konflik ketenagakerjaan—hal yang sebelumnya belum pernah dilakukan institusi ini,” ujarnya.
Menurutnya, pendekatan Presisi bukan hanya jargon, melainkan manifestasi nyata dari perubahan wajah Polri. Ia juga mengapresiasi respons cepat Polri terhadap aduan masyarakat yang masuk melalui DPR. “Dari semua mitra Komisi III, Polri adalah yang paling responsif. Kita panggil, mereka hadir. Kita sampaikan aduan rakyat, langsung ditindaklanjuti. Tapi ingat, kami juga tegas: kalau ada oknum mencederai institusi, harus diberi sanksi. Jangan dibiarkan.”
Baca juga : Subang 5 Besar Eliminasi Filariasis, Kang Jimat Apresiasi Dinas Kesehatan & Nakes
Tak hanya dari parlemen, kritik dan harapan juga datang dari dunia pers. Praktisi media sekaligus wartawan senior, Yayat Ruhiyat Cipasang, menilai Polri punya peluang besar untuk kembali merebut kepercayaan publik, terutama melalui keterbukaan dan pendekatan humanis.
“Masyarakat kita itu ibarat hubungan benci tapi rindu dengan polisi. Tapi yang rindu mungkin lebih banyak. Kita lihat antusiasme masyarakat di Monas saat HUT ke-79 Bhayangkara, itu bentuk cinta. Tapi jangan abaikan kritik—misalnya saat korban KDRT malah lebih memilih menghubungi Damkar ketimbang polisi. Itu alarm serius,” ujar Yayat.
Baca juga : Lepas Pasukan Perdamaian PBB, Kapolri: Selalu Pedomani Tribrata dan Catur Prasetya
Ia juga mengapresiasi modernisasi Polri, seperti peluncuran robot humanoid dan anjing robot serta kanal digital e-Police. Namun, Yayat menekankan pentingnya konten-konten yang membumi dan humanis. “Jangan hanya seremonial, tapi tampilkan kerja-kerja polisi di daerah 3T (terluar, tertinggal, terdalam), yang jarang terekspos tapi sangat menyentuh," pungkasnya.
Diskusi ini tidak hanya menjadi refleksi institusional, tetapi juga cermin harapan publik: bahwa Polri yang modern harus tetap membumi, hadir bukan hanya dengan seragam dan kewenangan, tetapi juga dengan hati dan keteladanan. (Asp)