LampuHijau.co.id - Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mendesak agar pasal power wheeling (PW) yang terdapat dalam RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) harus didrop atau dicabut. Pasalnya, berpotensi bakal merugikan dan membebani keuangan negara.
PW sendiri merupakan mekanisme transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara/PLN dengan memanfaatkan jaringan transmisi/distribusi PLN. Sehingga nantinya pembangkit listrik swasta dapat menjual langsung listrik, maka tidak lagi menjadi monopoli negara.
Menurut dia, seharusnya kebutuhan yang menyangkut kehidupan rakyat banyak harus dikuasai oleh negara.
Berita Terkait : Pj Gubernur Banten Al Muktabar: Semangat Bela Negara Harus Terus Ditanamkan
“Jadi, FPKS DPR menolak pasal terkait power wheeling dalam RUU EBET karena bukan saja persoalan sewa jaringan pembangkit listrik swasta. Tapi swasta dapat menjual langsung listrik, maka tidak lagi menjadi monopoli negara.
Konsep ini PLN berubah menjadi multiplayer pihak swasta. Ini jelas liberalisasi dan harga listrik nanti akan mengikuti mekanisme. Inilah pasar yang bertentangan dengan konstitusi,” tegas politisi PKS ini dalam diskusi forum legislasi 'Urgensi RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan' di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Selasa (10/9/2024).
Pada kesempatan yang sama, pengamat ekonomi energi UGM, Fahmy Radhi mengungkapkan, salah satu sebab tidak disahkannya RUU EBET power wheeling, karena sewa jaringan pembangkit listrik ini membebani APBN dan bisa memberatkan masyarakat.
Baca Juga : Nggak Usah Khawatir, Kesejahteraan Hakim Juga Demi Rakyat Kecil Pencari Keadilan Kok!!!
Selain itu, melanggar konstitusi, karena pembangkit listrik akan dikendalikan oleh swasta, yang juga akan menurunkan pendapatan PLN sendiri.
"Kebijakan Jokowi itu mendua, maka saya berharap pemerintahan Prabowo akan cabut power wheeling itu karena melanggar konstitusi, menurunkan pendapatan PLN, dan akan menggerus APBN untuk membayar kompensasi pada PLN. PW Harus didrop dan kemudian disahkan untuk memberikan kepastian kepada investor," jelas Fahmy.
RUU EBET juga dikatakannya bersinggungan erat dengan UU yang lain, yakni UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi, UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, dan UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.
Baca Juga : KPK Proses Laporan Dugaan Korupsi HPP Hakim MA
"Untuk itu, harmonisasi RUU-EBET dengan tujuh UU lain tersebut sangat penting dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih atau bahkan pengaturan yang bersifat saling menghilangkan satu sama lain," tambah Fahmy.
Fahmy juga mengatakan, PW akan menggerus pelanggan organik PLN 30 persen dan pelanggan nonorganik 50 persen. Bahkan ada yang berpendapat bahwa masuknya PW karena dorongan pengusaha ketenagalistrikan swasta yang bermaksud memudahkan bisnisnya.
“Sebaiknya Panja RUU EBET DPR ke depan, mengedrop dan mendalami secara khusus draft RUU EBET itu,” pungkas Fahmy. (Asp)