LampuHijau.co.id - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengungkapkan, mayoritas rakyat Indonesia menghendaki MPR RI kembali menjadi lembaga tertinggi negara.
Aspirasi dan keinginan tersebut diakui banyak diperolehnya selama lima tahun melalui sosialisasi dan kajian konstitusi yang dilakukan oleh lembaga yang dipimpinnya.
"Jika selama lima tahun memimpin MPR RI dengan sosialisasi dan kajian konstitusi, mayoritas rakyat menghendaki agar MPR RI kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Sehingga berbeda dengan tujuh lembaga negara lainnya; Kepresidenan RI, DPR RI, DPD RI, BPK, MK, KY, dan MA," ungkap Politisi yang akrab disapa Bamsoet ini, dalam acara Focus Group Discussion (FGD) MPR RI dengan Forum Aspirasi Konstitusi, dengan tema 'Penataan MPR-DPR-DPD RI di Masa Depan' bersama Wakil Ketua MPR RI Fadel Muhammad, dan Ketua Forum Aspirasi Konstitusi Jimly Asshiddiqie, di Gedung MPR RI Senayan Jakarta, Senin (29/7/2024).
Sehingga nantinya sebagai lembaga tertinggi negara, maka yang menyelesaikan masalah konstitusi adalah MPR RI, dan bukan lagi Mahkamah Konstitusi (MK).
"Sebab, keputusan politik yang melibatkan ratusan anggota MPR RI, hanya bisa dipatahkan oleh sembilan (9) atau kurang dari anggota MK," sambung Bamsoet.
Selain itu, suara yang kencang didengar lainnya masyarakat berharap dikembalikannya lagi utusan golongan masuk dalam sistem ketatanegaraan di MPR RI, serta mendorong kembali ke UUD NRI 18 Agustus 1945.
"Ini konsekuensinya DPD RI harus dihapus dan diganti dengan utusan golongan atau utusan daerah di MPR RI. Kalau itu terjadi, maka harus disiapkan aturan peralihannya dari DPD RI ke utusan daerah.
Juga utusan golongan dikembalikan pemilihan atau penentuannya ke golongan, organisasi profesi, dan sebagainya tanpa mengurangi kualitas demokrasi itu sendiri," terangnya.
Baca juga : Usia Pipa 77 Tahun, PAM Jaya Berhasil Tangani Kebocoran di Petamburan
Hal itu menurut Bamsoet, sesuai dengan pesan Bung Karno. Dimana tidak boleh satu pun elemen bangsa ini yang ditinggalkan dalam berdemokrasi.
"Seperti elemen dokter, guru, wartawan, cendekiawan, insinyur, ormas keagamaan, adat, dan sebagainya. Sebab, mereka itu tidak mungkin masuk parlemen, baik melalui jalur DPR RI maupun DPD RI di tengah proses politik yang NPWP (nomor piro wani piro), atau politik uang sekarang ini," jelasnya.
Kemudian, apakah amandemen keempat kali telah membawa kemajuan untuk bangsa, dan telah membawa perubahan besar untuk negara ini? Nyatanya, dikatakan Bamsoet, masyarakat makin terpinggirkan. Demokrasi hanya berjalan dengan transaksional prosedural, bukan secara substansial.
"Jadi, keputusan amandemen keempat kali itu kurang tepat, karena income perkapita masyarakat masih rendah, pendidikan rendah hanya SD dan SMP. Sehingga dalam perjalanannya yang terjadi adalah demokrasi prosedural, transaksional NPWP.
Baca juga : Kinerja Mumpuni Lebih Baik dari Elektabilitas yang Cuma Mainan Lembaga Survei
Rakyat tak salah, tapi negara yang salah karena belum mampu menyejahterakan dan mencerdaskan rakyatnya, maka demokrasi menjadi sangat mahal," tandas politisi Golkar itu.
Sementara Ketua Forum Aspirasi Konstitusi Jilmly Asshiddiqie menjelaskan, untuk melakukan koreksi dan evaluasi UUD NRI 1945 hasil amandemen keempat tersebut harus menyerap aspirasi dari bawah dengan melibatkan berbagai kekuatan elemen bangsa ini.
"Aspirasi rakyat itu tak boleh diabaikan. Karena itu menyerap aspirasi itu sifatnya dari bawah ke atas. Bukan sebaliknya, itu namanya sosialisasi.
Demikian pula terkait penguatan MPR RI, DPD RI dan lain-lain dengan melibatkan semua perguruan tinggi dan elemen masyarakat. Saya mendukung penguatan semua lembaga negara demi perbaikan masa depan bangsa ini," pungkasnya. (Asp)