RAPBN 2025, Anggota Komisi XI DPR: Dilihat Dulu Programnya, Jangan Langsung ke Duitnya

Diskusi forum legislasi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 11 Juni 2024. (Foto: ist)
Rabu, 12 Juni 2024, 01:59 WIB
Political News

LampuHijau.co.id - Anggota Komisi XI DPR, Zulfikar Arse Sadikin mengatakan, jika membahas Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, yang harus dilihat lebih dulu adalah bagaimana program kerjanya bukan lihat duitnya.

“Kalau kita bicara RAPBN karena itu berasal dari Rencana Kerja dan Anggaran (RKA), harus dilihat dulu adalah bagaimana programnya, bagaimana kegiatannya, jangan langsung ke duitnya dulu," ujarnya dalam diskusi Forum Legislasi 'Mengupas RAPBN 2025 Menuju Indonesia Maju' di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/6/2024).

Menurutnya, setelah melihat rencana kerja atau program kerjanya, maka perlu dilakukan pemetaan terhadap berbagai rencana tersebut dengan mengandalkan riset. "Sehingga kerja yang hendak dilaksanakan benar-benar dapat dijalankan," terangnya.

Baca juga : RDP dengan Komisi VI DPR, Grup MIND ID Berkomitmen untuk Perbaikan Tata Kelola

Lebih lanjut politisi Golkar ini menjelaskan, sesudah rencana kerja dirampungkan dan dipastikan selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, barulah dapat dibahas lebih lanjut terkait pendanaan untuk setiap program kerja (proker).

"Dalam hal ini, upaya mengumpulkan anggaran juga perlu diketahui detail agar setiap proker mendapatkan dana secara tepat sasaran. Kita harus memperbanyak memang collecting pendapatan kita, tapi kan kita harus tau siapa yang perlu di-collect. Itu biasanya yang besar-besar, jangan yang kecil-kecil yang di collect,” jelas Zulfikar.

Kemudian, pemerintah perlu mengeluarkan pembelanjaan melalui APBN dalam rangka menghadirkan pertumbuhan dan pemerataan kesejahteraan ekonomi. Misalnya, belanja barang dan belanja pegawai yang keluar sekitar 50 persen dari APBN bisa dipakai untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.

Baca juga : Desain Anggaran Belum Ada, Anggota Komisi IX DPR Pesimis KRIS BPJS Kesehatan Berlaku di 2025

"Selama ini, pemerintah dinyatakan cenderung mengandalkan konsumsi rumah tangga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," tandasnya.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai, bahaya kalau rasio pajak atau tak ratio utang luar negeri di atas PDB (produk domestik bruto) mencapai 40,41 persen atau setara dengan Rp 6.000 triliun

. Angka ini dikatakannya meningkat jika dibandingkan dengan target 2024 sebesar 38,26 persen dan lebih tinggi dari realisasi tahun 2023 yang sebesar 38,98 persen.

Baca juga : Wujudkan Pemilu Damai, Anggota Komisi II: KPU, Bawaslu Harus Berani Tegakkan Aturan

“Kenaikan rasio utang itu selaras dengan defisit anggaran yang ditarget meningkat. Defisit anggaran pada 2025 disasar meningkat menjadi 2,45 persen sampai 2,8 persen terhadap PDB, dari tahun ini sebesar 2,29 persen atau Rp 6.000 triliun. Ini bahaya,” tegas Nailul.

Akibatnya, APBN 2025 akan dihantui oleh bunga utang luar negeri yang cukup masif. Apalagi jika nilai tukar rupiah terhadap dollar terus merosot.

“Alhasil, pemerintah terus berupaya untuk mengurangi subsidi BBM, listrik, gas, dan sebagainya yang bebani rakyat makin berat akibat beban utang tersebut. Sehingga kebijakan fiskal itu kontradiktif dengan terus mengurangi subsidi rakyat. Tapi Menkeu Sri Mulyani selalu mengajukan APBN yang optimistis, maka layak dipertahankan dalam pemerintahan Prabowo-Gibran,” tambah Nailul. (Asp)

Index Berita
Tgl :
Silahkan pilih tanggal untuk melihat daftar berita per-tanggal