LampuHijau.co.id -
Oleh :
Kombes Pol. Dr. Dedy Tabrani, S.I.K, M.Si
Sabtu 20 Mei 2023.
Peran Polri di tahun politik akan menghadapi ujian oleh dinamika politik dalam negeri. Pasalnya, di tahun 2023 konstelasi politik dalam negeri mengalami peningkatan seiring dengan persiapan penyelenggara dan peserta Pemilihan Umum atau pemilu 2024. Oleh karena itu, tahun 2023 adalah tahun politik. Proses-proses politik menghadapi Pemilu 2024 telah berlangsung selama tahun 2023 sehingga tensi politik semakin meningkat, dan terutama jelang pendaftaran calon Presiden pada Oktober 2023.
Pengalaman Pemilu 2019, proses-proses politik, sedari konsolidasi internal partai, pemetaan arah koalisi partai, hingga kampanye partai menjelang Pemilu melahirkan riuh politik, terutama di media sosial. Media sosial menjadi sarana komunikasi politik, yang tak jarang memuat konten kampanye hitam, propaganda, ujaran kebencian, dan sebaran hoaks menjelang Pemilu.
Pengalaman Pemilu 2019 di Indonesia harus menjadi pelajaran bagi Polri sebagai pihak yang memfasilitasi terciptanya keselamatan dan juga perasaan aman warga negara di tahun politik. Bagi Polri, hal ini pada gilirannya memunculkan kebutuhan mendesak untuk memberi pembekalan yang operasional bagi seluruh jajaran kepolisian di tanah air untuk melaksanaan tugas pemolisiannya mengawal proses-proses politik jelang Pemilu. Oleh karena itu, Polri memainkan peran yang krusial dalam melakukan langkah-langkah pencegahan dan penegakan hukum menghadapi potensi ancaman yang dapat menganggu stabilitas keamanan negara di tahun politik.
Fungsi Pemolisian dan Polri
Pada dimensi filosofis fungsi pemolisian lahir karena adanya kebutuhan akan rasa aman di dalam kehidupan masyarakat. Konsep pemolisian akar kelahirannya tumbuh dan berkembang dari masyarakat, bukan dari kekuasaan negara. Karena itu, polisi bukan merupakan alat kekuasaan negara melainkan mengabdi dan melindungi masyarakat secara umum. Masyarakat memiliki kapasitas yang besar dan kuat untuk menentukan bentuk polisi serta pengawasan terhadap implementasi tugas dan fungsi pemolisian.
Berita Terkait : Ilmu Kepolisian dan Wacana Pembentukan Universitas Kepolisian
Oleh karena itu, kepolisian berangkat dari asumsi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum dan menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat. Dalam hal ini, kepolisian sebagai institusi merupakan mandat yang diberikan penguasa sebagai pembuat hukum untuk menjalankan fungsi pemolisian yakni menjaga dan menegakan permasalahan hukum di masyarakat.
Dalam perkembangannya, spektrum perubahan politik yang berkembang di masyarakat, makna policing mengalami perubahan seturut dengan demokratisasi yang menjadi keniscayaan dalam kehidupan bernegara. Perubahan ini menodorong kebutuhan pelaksanaan tugas dan fungsi pemolisian berjalan dalam kerangka prinsip dan nilai-nilai demokratis atau democratic policing. Sistem pemolisian demokratis memiliki cita-cita bahwa polisi dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan undang-undang dan aturan hukum, dan bukan untuk memenuhi keinginan atau selera penguasa.
Dalam konteks Polri, perkembangan dinamika kehidupan masyarakat menjadi landasan bagi institusi Polri untuk berbenah dan menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan suatu kerangka dan model implementasi bagi konsep pemolisian yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Hal ini sejalan dengan gagasan Bapak Kepolisian Modern, Sir Robert Peel mengenai konsep “polisi adalah publik dan publik adalah polisi” ( _the police are the public and the public are the police_ ).
Perubahan-perubahan sistem dan tata nilai penyelenggaraan pemerintahan mendorong Polri merubah pola atau pendekatan pemolisian. Dalam hal ini, Polri tidak lagi menekankan pola atau pendekatan yang bersifat reaktif akan tetapi juga pendekatan yang sifatnya proaktif sesuai dengan tuntutan masyarakat. Pendekatan ini pada dasarnya mendorong insitusi polisi atau Polri untuk menjadikan masyarakat sebagai mitra untuk memecahkan permasalahan gangguan kamtibmas.
Upaya ini diwujudkan melalui perubahan gagasan perpolisian, dari awalnya yang menitikberatkan pada pendekatan reaktif dan konvensional menuju pendekatan yang proaktif guna mendapatkan kepercayaan masyarakat. Pasalnya, polisi tidak akan mampu menjalankan tugasnya tanpa adanya dukungan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat adalah mitra kerja aparat polisi sehingga pemolisian yang dijalankan aparat polisi perlu mengedepankan kemitraan dalam rangka memecahkan permasalahan masyarakat.
Kerangka dan model implementasi bagi konsep kemitraan polisi dan masyarakat ini melahirkan model-model pemolisian yang dikenal dengan Neighbourhood Policing, Community Oriented Policing dan Community Based Policing atau Community Policing. Paradigma Pemolisian masyarakat ini menjadi pedoman pelaksanaan tugas dan fungsi aparat polisi di beberapa negara di Eropa, Amerika, dan Jepang. Dalam hal ini, implementasi dari praktik Community Policing beragam atau bervariasi yang dikembangkan dengan karakter dan budaya masyarakat pada suatu negara. Namun demikian, secara prinsip, praktik Community Policing ini mendasarkan pada prinsip bahwa tugas dan fungsi aparat polisi tidak akan bisa dijalankan tanpa adanya dukungan atau kerja sama dengan masyarakat.
Jepang merupakan salah satu pionir konsep Community Policing di Kawasan Asia. Negara Jepang mengimplementasikan konsep Community Policing dengan membentuk sistem keamanan yang dapat mencakup wilayah terpencil di perkotaan, sistem itu disebut koban. Koban adalah satuan unit terkecil di kepolisian prefektur yang berupa pos polisi dengan beberapa jumlah personel polisi. Mereka hadir di tengah-tengah masyarakat selama 24 jam dan rutin melakukan patroli dengan berjalan kaki di tengah lingkungan masyarakat. Bahkan, pos polisi koban memiliki bangunan yang unik dan menarik, tidak memberikan kesan menyeramkan bagi masyarakat. Konsep koban ini kemudian banyak diadopsi di beberapa negara termasuk negara Indonesia mengadopsi sistem community policing dari Jepang.
Di Indonesia model Community Policing ini dikenal dengan istilah Pemolisian Masyarakat atau Polmas. Hal ini ditetapkan Polri melalui Surat Keputusan Kapolri No.Pol. SKEP/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 sebagai upaya mencanangkan Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat (Polmas). Dalam perkembangannya kemudian diperbaharui melalui Peraturan Polisi (Perpol) Nomor 1 tahun 2021 tentang Polmas.
Dalam konteks Polri, tugas pokok Polri yang diamanatkan dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Dalam hal ini, Polri bertanggung jawab atas semua situasi keamanan dalam negeri, menegakan hukum, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Namun demikian, secara prinsip tugas pertama Polri adalah pencegahan yakni pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, baru kemudian diikuti dengan tugas penegakan hukum terhadap ancaman yang dapat mengganggu situasi kamtibmas.
Polri dalam menjalankan tugas dan fungsinya dihadapkan pada beragam tantangan, yang salah satunya dalah angka rasio jumlah polisi. Saat ini, jumlah anggota Polri sekitar 470 ribu-an dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 280 juta-an. Pada saat bersamaan, Polri dituntut untuk mengejar ketetapan Bappenas mengenai angka rasio keberadaan polisi dan jumlah penduduk, yakni 1:575 (standar PBB, 1;400). Mengacu pada angka rasio Bappenas, maka 1 polisi diharapkan bisa melayani 575 orang penduduk. Padahal, idealnya kehadiran seorang polisi di tengah masyarakat, khususnya kota besar adalah 1:300.
Berita Terkait : Kombes Zain Dwi Nugroho Rajin Jalankan Perannya Selaku Polisi RW di Kota Tangerang
Namun demikian, pengembangan postur institusi Polri tidak terpaku pada pendekatan kuantitatif semata karena pemenuhan ratio tersebut belum tentu menjadi jaminan fungsi dan peran kepolisian bisa langsung dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, perlunya menetapkan strategi pemolisian yang tepat dengan penerapan model pemolisian masyarakat (Polmas) dan optimalisasi peran komponen pendukung lainnya yang mengemban fungsi kepolisian. Misal, Satpam, Linmas, dan bentuk-bentuk pengamanan masyarakat lainnya. Dengan kata lain, implementasi tugas dan fungsi Polri di tengah keterbatasan dan tantangan yang dihadapi harus senantiasa menempatkan masyarakat sebagai mitra.
Berdasarkan hal di atas, fungsi pemolisian di seluruh dunia menyesuaikan dengan nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat serta menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Kesadaran akan pentingnya kemitraan Polri dengan masyarakat ini sejalan dengan dinamika kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang mengarah pada kerangka pemikiran mengenai keamanan demokratis (democratic security) sebagai acuan diperlukannya model-model pemolisian berbasis demokratis (democratic policing). Dalam kerangka ini, Polri tidak hanya menjadikan masyarakat sebagai objek pemolisian akan tetapi juga sebagai subyek dari pemolisian itu sendiri dan bersama-sama polisi mewujudkan situasi yang aman dan kondusif di masyarakat.
Sejalan dengan pemikiran di atas, melalui berbagai instrument peraturan, Polri telah menekankan pentingnya filosofi pemolisian yang mengedepankan pendekaran preventif (pencegahan) dan preemtif (penangkalan) dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Meskipun demikian, langkah repsresif atau penindakan tidak lantas ditinggalkan oleh polisi. Pasalnya, penindakan (koersif-represif) polisi adalah institusi yang oleh negara diberi kewenangan untuk menggunakan kekerasan secara sah (legitimate coercive power). Kewenangan ini diselenggarakan secara terbatas, terukur, tidak berlebihan (eksesif) dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Apa itu Polisi RW?
Polisi RW atau yang dikenal sebagai Polisi Rukun Warga merupakan bagian dari kebijakan Community Policing atau Pemolisian Masyarakat. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dengan melibatkan masyarakat langsung dalam pengawasan keamanan lingkungannya. Program Polisi RW pertama kali dicetuskan oleh Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam), Komjen. Pol. Dr. H. Mohammad Fadil Imran, M.Si. Program ini dimaksudkan untuk menghadirkan polisi di tengah-tengah masyarakat guna mengatasi permasalahan keamanan yang berpotensi muncul dari basis komunitas terendah, yakni lingkungan rukun warga (RW).
Polisi RW hadir sebagai wujud praktik pemolisian modern yang bermuara dari hulu yaitu pencegahan kejahatan melalui pendekatan nyata dengan masyarakat. Dalam hal ini, kehadiran Polisi RW di lingkungan masyarakat dapat mewujudkan RW yang sejuk dan aman melalui optimalisasi pencegahan terhadap gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Lebih dari itu, kehadiran Polisi RW diharapkan dapat menghadirkan wajah polisi yang mengayomi dan melindungi melalui proses-proses interaksi atau komunikasi yang lebih dekat dengan masyarakat serta sebagai coolling system peningkatan kerawanan kamtibmas menjelang pemilu 2024 yang dapat mengganggu terselenggaranya proses demokrasi.
Gagasan Polisi RW ini sejalan dengan landasan pemikiran Reformasi Birokrasi Polri yang mengusung agenda pemikiran mengenai “Mabes Kecil, Polda Sedang, Polres Besar, dan Polsek Kuat”. Gagasan ini menepatkan kekuatan Polri berada di Polsek, yakni kepolisian tingkat kecamatan, sebab di situlah fungsi polisi yang sebenarnya. Oleh karena itu, mengetahui keterbatasan jumlah personel dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk, Polisi RW mencoba untuk mengoptimalisasi kekuatan Polri di tingkat paling bawah yakni RW/RT.
Pada prinsipnya, pembentukan Polisi RW merupakan implementasi dari praktik pemolisian masyarakat (community policing) dengan mencoba menghadirkan polisi di lingkungan masyarakat paling bawah yakni RW. Selain itu, pemikiran bahwa persepsi masyarakat tentang institusi Polri sangat ditentukan oleh sejauhmana kehadiran polisi di lingkungan masyarakat sehingga pembentukan Polisi RW diharapkan dapat menjalin komunikasi lebih dekat tantara polisi dan masyarakat.
Dalam konteks Polisi RW, policing dalam banyak sektor kehidupan sipil hingga di lingkan RW menjadi sebuah keniscayaan. Pasalnya, upaya mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat perlu peran serta masyarakat secara luas termasuk masyarakat di lingkungan RW. Progam Polisi RW sejatinya membawa lebih dekat harapan polisi untuk bisa lebih dekat dengan masyarakat. Tanpa dukungan masyarakat mustahil Polri dapat menjalankan tugas dan fungsinya memberikan rasa aman dengan mencegah terjadi gangguan keamanan dan ketertiban.
Berita Terkait : Polisi Tangkap Pengedar Narkoba, Ribuan Pil Koplo Ikut Diamankan
Tidak dapat dipungkiri bahwa wajah Polri amat ditentukan oleh persepsi masyarakat terhadap peran Polri di lapangan. Dalam hal ini, wajah institusi Polri lebih banyak ditentukan oleh proses-proses komunikasi polisi dengan masyarakat di lapangan, bukan interaksi masyarakat dengan para Jenderal atau Kombes di Markas Besar (Mabes). Oleh karena itu, polisi harus mampu menjangkau masyarakat hingga di tingkat grassroots. Dengan demikian, kekuatan Polri untuk melayani dan memberikan rasa aman kepada masyarakat tidak cukup hanya berada di wilayah tingkat kecamatan, akan tetapi perlunya polisi yang secara aktif melakukan blusukan hingga di lingkungan RW.
Tantangan Polisi RW
Program Polisi RW dihadapkan pada tantangan mengenai persepsi publik yang masih belum beranjak jauh dari potret tentang peran sebuah institusi negara yang semata-mata diberikan kewenangan untuk menggunakan kekerasan secara sah, tidak berbeda jauh dari status lama sebagai bagian dari kekuatan combatant.
Tidak mengherankan kalau kemudian program Polisi RW ini menimbulkan pertanyaan di masyarakat. Apalagi keberadaan Polisi RW ini menyangkut ruang politik atau pada tahun politik, maka derajat sensitivitasnya akan jauh lebih tinggi. Dalam hal ini, publik berasumsi bahwa polisi dengan bermain politik, sementara kompetisi politik selalu mengandung resiko ancaman keamanan dan ketertiban masyarakat.
Oleh karena itu, masyarakat atau anggota polisi yang kurang memahami filosofi pemolisian akan beranggapan bahwa gagasan Polisi RW merupakan ambisi untuk bermain politik atau demi kepentingan pribadi atau kepentingan politik. Padahal, koridor Polri sebagai guardian of the state meniscayakan tugas pertama dan terutama institusi polisi adalah menjaga kepentingan nasional dan negara.
Tak diragukan lagi, 2023-2024 akan menjadi tahun ujian terberat bagi implementasi Polri Presisi yang diusung Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Oleh karena itu, pembentukan Polisi RW tidak lain hakikatnya merupakan untuk menghadapi tantangan gangguan kamtibmas di tahun politik. Dengan kata lain, program Polisi RW merupakan kontribusi Polri Presisi bagi upaya untuk memitigasi dan bahkan menjawab tantangan dinamika politik dalam negeri.
Program Polisi RW merupakan kebutuhan mendesak sebagai strategi implementasi pemolisian Polri dengan menempatkan masyarakat di lingkungan RW sebagai mitra polisi mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat. Program ini setidaknya menjadi landasan operasional bagi seluruh jajaran kepolisian di tanah air untuk melaksanaan tugas pemolisiannya di lingkungan masyarakat tingkat bawah secara demokratis di dalam mengawal Pemilu. (*)