LampuHijau.co.id - Pakar Hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana menegaskan, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-17 G20 di Bali pada 15 hingga 16 November mendatang, bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk meningkatkan politik diplomasinya di dunia internasional saat ini.
Indonesia pun bisa mendorong perang Rusia-Ukraina yang sudah berlangsung selama 9 bulan ini, segera diakhiri dan meminta semua negara yang bertikai berkomitmen menjaga perdamain dunia. Sebab, dunia saat ini di ambang mata terjadinya Perang Dunia (PD) III pasca bergabungnya Belarusia, China, Iran dan Korea Utara ke Rusia melawan NATO, Amerika Serikat (AS) dan sekutunya dalam perang Rusia-Ukraina.
“Ini momentum bagi dunia, kalau Indonesia bisa mempertemukan kepala negara dan kepala pemerintahan dari negara-negara yang bertikai. Saya yakin, itu bisa menjadi nobel prize (penghargaan nobel) bagi presiden, karena bisa menghadirkan perdamaian,” kata Hikmahanto dalam Gelora Talk Bertajuk ‘Babak Baru Perang Rusia-Ukraina dan apa dampaknya bagi Dunia?, Rabu (9/11/2022) kemarin.
Karena itu, Hikmahanto berharap, para diplomat Indonesia bisa mendukung upaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, terutama Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden AS Joe Biden, dan Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak hadir di KTT G20.
“Kemudian memfalitasi pertemuan bilateral di antara kepala negara dan kepala pemerintahan yang hadir. Ada pembicaraan cukup 30 menit saja, tidak perlu lama-lama. Tetapi, intinya negara-negara yang bertikai berkomitmen kepada perdamaian,” jelasnya.
Baca juga : Pujian Jokowi Dongkrak Peluang Airlangga Menuju Pilpres 2024
Hikmahanto menilai, situasi KTT G20 di Bali saat ini mirip dengan situasi pertemuan Bretton Woods, New Hampshire pada 1944 pasca PD II. Ketika itu, AS dan Inggris selaku pemenang PD II melahirkan tiga institusi keuangan dunia yaitu Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), selain membentuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
“Pertemuan G20 ini, sama peristiwa sepertinya Bretton Woods tahun 1944. Negara pemenang berkumpul dan menentukan sistem dunia di masa datang. Bedanya sekarang semua negara bertikai berkumpul. Nah, kalau Indonesia bisa mempertemukan semua kepala negara dan pemerintahan itu, bisa tercipta perdamaian dunia,” tandasnya.
Pada kesempatan yang sama, Pengamat Militer dan Pertahanan Connie Rahakundini mengatakan, Presiden Rusia Vladimir Putin sebenarnya ingin menghadiri KTT G20 dengan mengirimkan delegasi tingkat tingginya, antara lain Wakil Duta Besar Rusia untuk Indonesia yang sudah dikarantina di Bali.
“Tapi Putin masih lihat kondisi, ini perangnya beda, kalau perang sama Ukraina saja dia pasti datang, musuhnya itu semuanya ada di G20, sehingga faktor keamanannya akan sangat ketat. Putin itu menganggap Presiden Jokowi saudara, memanggilnya brother. Putin tidak mau merepotkan brothernya gara-gara dia datang, kira-kira begitu. Tetapi, saya berharap agar Putin tetap datang ke Bali,” kata Connie.
Connie yang memiliki kedekatan dengan Presiden Rusia Vladmir Putin berharap, Indonesia bisa mengambil pelajaran dari perang Rusia-Ukraina. Di mana perlunya berdikari atau kemandirian Indonesia seperti Rusia dan tidak bergantung kepada negara lain.
Baca juga : Meski Anak Ketua Umum PDI Perjuangan, Puan Maharani Kerja Keras Agar Jadi Ketua DPR RI
"Kita harus belajar dari perang Rusia-Ukraina. Rusia telah memberi pelajaran kepada kita dengan kondisi saat ini, pentingnya berdikari, Indonesia bisa seperti Rusia. Mengurus Indonesia tentunya lebih mudah, daripada mengurus Rusia. Wilayah Rusia jauh lebih besar dari Indonesia saja, kenapa Indonesia tidak bisa. Indonesia harusnya bisa, saya yakin Indonesia bisa,” ungkapnya.
Ia juga berharap, para pemimpin sekarang bisa mengambil pelajaran dari Presiden RI pertama Soekarno dan para funding father yang menginisiasi Gerakan Non-Blok (GNB) atau Non-Aligned Movement yang telah melahirkan KTT Asia Afrika 1955 di Bandung. “Indonesia harus membentuk Non-Aligned Movement lagi yang mampu berbicara di pentas internasional dan menentukan sikap dunia. Banyak yang memiliki kemampuan seperti itu, tapi apakah negara akan menggunakan, saya tidak tahu,” pungkasnya.
Sementara Ketua Bidang Hubungan DPN Partai Gelora Indonesia Henwira Halim mengatakan, perang Rusia-Ukraina saat ini terus menunjukkan peningkatan ekskalasi menuju PD III. Sehingga situasi ini membuat kekhatiran semua pihak, terutama negara-negara di Eropa yang akan memasuki musim dingin.
“Eropa akan dilanda musim dingin sehingga membuat kekhawatiran sendiri karena pasokan gas terganggu. Suasana cederung memperlihatkan situasi memanas,” kata Henwira. Wira, sapaan akrab Henwira Halim.
Ia berharap, Indonesia bersiap-siap terhadap terhadap segala dampak Perang Rusia-Ukraina apabila situasi semakin memanas seperti memulai kemandirian dalam pangan dan energi. “Tetapi kita juga harus realistis, bahwa kemandirian itu bukan berarti kita terisolasi. Artinya, kita ini juga tidak bisa hidup sendirian seperti kalau terjadi bencana alam, kita perlu bantuan dan membantu negara lain,” ujarnya.
Baca juga : Polresta Tangerang Ungkap Kasus Penimbunan BBM Pertalite
Namun, situasi dan dampak perang Rusia-Ukraina sebenarnya telah diantisipasi Partai Gelora dengan mengusulkan visi menjadikan Indonesia 5 besar dunia. Artinya, Indonesia tidak hanya harus unggul secara militer, tetapi juga secara ekonomi, diplomasi, pendidikan dan sumber daya manusia.
“Program Partai Gelora menjadikan Indonesia 5 besar dunia adalah pekerja rumah bersama. Negara kita arahnya gimana? Itu semua tergatung kita semua,” tandasnya. (Asp)