LampuHijau.co.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah politisi Partai Nasional Demokrat (NasDem), Ahmad Ali di bilangan Jakarta Barat, Selasa, 4 Februari 2025.
Upaya paksa penyidik komisi antikorupsi terkait dugaan gratifikasi terkait produkai batu bara di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) yang menyeret mantan Bupati Rita Widyasari selaku tersangka.
"Info sementara, secara umum ditemukan dan disita dokumen barang bukti elektronik, uang, ada juga tas dan jam," ungkap Juru Bicara KPK Tessa Mahardika di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa petang.
Dia menambahkan, uang-uang yang disita tersebut terdiri atas mata uang rupiah dan mata uang asing atau valuta asing (valas).
Sebelumnya, KPK telah menyita uang ratusan miliar rupiah milik Rita selaku tersangka dan pihak-pihak lain yang terseret kasus ini.
"Bahwa pada Jumat, 10 Januari 2025, KPK melakukan serangkaian tindakan penyidikan berupa penyitaan uang," kata Tessa pada Selasa, 14 Januari 2025.
Rinciannya, dalam mata uang rupiah disita sebesar Rp 350,8 miliar. Uang ini disita dari 36 rekening bank milik tersangka Rita Widyasari dan pihak-pihak lain.
Dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS) sebesar 6.284.712,77 dolar AS (setara Rp 102,8 miliar). Uang disita dari 15 rekening bank milik Rita dan pihak lain.
Dalam mata uang dolar singapura sebesar 2.005.082 dolar Singapura atau setara Rp 23,8 miliar. Uang ini berasal dari 1 rekening bank milik pihak lain yang terkait perkara korupsi ini. Sehingga total keseluruhan uang yang disita setelah dikonversi ke dalam mata uang rupiah sejumlah 476,9 miliar.
"KPK akan terus berupaya semaksimal mungkin mengembangkan perkara yang sedang disidik dan meminta pertanggungjawaban pidana terhadap para pihak yang patut untuk dimintakan pertanggungjawabannya," sambung Tessa.
Sementara penasihat hukum Rita, Mukhlas Handoko mengaku belum bisa memberikan tanggapan terkait penyitaan yang dilakukan penyidik KPK.
"Karena terkait permasalahan tersebut klien saya pun belum ada panggilan atau pemeriksaan dari KPK," ucapnya saat dikonfirmasi, Selasa, 14 Januari 2025.
Baca juga : Kejagung Periksa Saksi Ahli di Kasus Korupsi dan TPPU oleh Korporasi Duta Palma Group
Adapun perkara gratifikasi yang menjerat Rita Widyasari, diduga diterimanya dari sejumlah perusahaan tambang atas jumlah produksi batu bara per metrik ton (MT). Dia mengutip sejumlah uang dalam bentuk dolar AS per metrik ton dari hasil produksi beberapa perusahaan tambang baru bara di Kabupaten Kukar, saat ia menjabat Bupati.
"Jatahnya per metrik ton antara 3,3 dolar AS sampai 5 dolar AS. Kalau 5 dolar AS dikalikan Rp 15 ribu (nilai kurs rupiah/dolar AS) cuma Rp 75 ribu," ungkap Direktur Penyidikan KPK Brigjen Asep Guntur Rahayu kepada wartawan.
Asep menambahkan, nilai itu kemudian dikalikan lagi dengan jumlah produksi tiap-tiap perusahaan tambang batu bara. Jumlahnya bisa ribuan hingga jutaan ton. Apalagi gratifikasinya dilakukan secara terus-menerus.
Menurutnya, KPK menduga Rita Widyasari menerima gratifikasi dari sejumlah perusahaan tambang saat menjabat Bupati Kutai Kartanegara. Perkaranya berbeda dengan kasus suap izin usaha pertambangan (IUP) yang telah membuatnya mendekam di balik jeruji.
Selain kembali ditersangkakan atas dugaan penerimaan gratifikasi, saat ini Rita telah dijerat dengan perkara dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Penyidik KPK juga telah melakukan sejumlah penggeledahan dan penyitaan aset-asetnya.
Sejauh ini, lembaga antirasuah telah menyita 104 kendaraan yang diduga terkait dengan Rita Widyasari. Rinciannya adalah sebanyak 72 unit mobil dan 32 unit sepeda motor.
Baca juga : Tan Paulin Cuma Beli Batu Bara, Nggak Terkait Kasus Rita Widyasari di KPK
"Uang senilai Rp 6,7 miliar dan dalam bentuk mata uang dolar Amerika Serikat serta mata uang asing lainnya senilai total kurang lebih Rp 2 miliar," beber Tessa, Sabtu, 8 Juni 2024.
Selain itu, tim penyidik KPK telah melakukan penggeledahan terhadap 19 rumah dan 9 kantor. Barang bukti kendaraan dan dokumen yang ditemukan langsung disita.
Penggeledahan dilakukan dalam dua tahap. Pertama, di Jakarta dan sekitarnya pada 13 sampai 17 Mei 2024. Berikutnya, di Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kertanegara pada 27 Mei 2024 sampai 6 Juni 2024.
Pada tahun 2018, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat memvonis Rita dengan pidana penjara selama 10 tahun. Rita juga dikenakan pidana denda sebesar Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan, serta pencabutan hak politik selama 5 tahun. Hakim menyatakan, Rita terbukti menerima gratifikasi Rp 110 miliar terkait perizinan proyek di Kutai Kartanegara.
Rita mencoba melawan vonisnya melalui banding dan kasasi, bahkan hingga peninjauan kembali (PK). Namun upayanya kandas, setelah Mahkamah Agung menolak PK atas kasusnya pada 2021 lalu. Ia pun dieksekusi ke Lapas Pondok Bambu, Jakarta Timur untuk menjalani hukumannya. (Yud)