LampuHijau.co.id - Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat memvonis ringan terdakwa mantan Direktur Utama (Dirut) PT Jasamarga Jalanlayang Cikampek (JJC) Djoko Dwijono dalam perkara dugaan korupsi pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II alias Tol Sheikh Mohammed Bin Zayed (MBZ).
Dalam pertimbangannya, hakim menyebut bahwa perbuatan korupsi Djoko dan terdakwa lainnya telah memperkaya kerja sama operasi PT Waskita Karya-PT Acset Indonusa (KSO Waskita-Acset) sejumlah Rp 510 miliar.
Nilai ini pula yang menjadi kerugian keuangan negara sebagaimana hasil perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nomor: PE.03/R/S-1400/D5/01/2023 tanggal 29 Desember 2023. T
erdakwa lain yang terlibat yaitu ketua panitia lelang Tol MBZ Yudhi Mahyudin; tenaga ahli jembatan PT LAPI Ganeshatama Consulting, Toni Budianto Sihite; dan mantan Direktur Operasional II PT Bukaka Teknik Utama Sofiah Balfas.
Selain itu, hakim mengungkap ada peran Dono Parwoto selaku kuasa KSO Waskita-Acset dalam tindakan lancung tersebut.
Hakim menilai, terdakwa Djoko Dwijono terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana sebagaimana dakwaan subsidair penuntut umum.
Hakim memandang, terdakwa Djoko Dwijono sebagai subjek hukum yang memiliki jabatan dan kedudukan. Sehingga dengan jabatan tersebut, Djoko mempunyai kewenangan dan kesempatan atau saran yang ada padanya dapat saja melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan.
Maka dengan jabatannya selaku Dirut JJC periode 2016-2020, bila dikaitkan dengan perbuatan yang didakwakan dalam design and build Tol MBZ. Sehingga perbuatan yang dilakukan Djoko tidak memenuhi kriteria dalam dakwaan primer penuntut umum, yakni melanggar Pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUH Pidana.
"Melainkan memenuhi kriteria pengertian setiap orang dalam Pasal 3 (UU Tipikor), oleh karena terdakwa memiliki jabatan serta kewenangan sebagai Dirut JJC," sebut ketua majelis hakim Fahzal Hendri, membacakan pertimbangan hukumnya di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa, 30 Juli 2024.
Hakim menilai, atas adanya persekongkolan para terdakwa dalam proyek pembangunan ini mengakibatkan ketidaknyamanan penggunaan jalan Tol MBZ. Yaitu karena kekurangan volume pada pekerjaan struktur beton, kekurangan mutu slab beton, dan kekurangan volume pada pekerjaan steel box girder.
Dalam pertimbangannya, hakim turut membeberkan tujuh penyimpangan yang dilakukan para terdakwa. Hal ini didasarkan kepada keterangan saksi saksi, keterangan ahli, alat bukti, dan barang bukti, serta keterangan terdakwa di persidangan.
"Sebagaimana dalam pertimbangan hukum di atas yang kami anggap sebagai satu kesatuan dalam uraian unsur yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan," sebut hakim Fahzal yang didampingi hakim anggota Rianto Adam Pontoh dan Sukartono.
Ketujuh penyimpangan itu yakni Djoko Dwijono bersama-sama Yudhi Mahyudin sengaja meloloskan dan memenangkan KSO Waskita-Acset dalam lelang jasa konstruksi pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated. Namun tindakannya tanpa melakukan evaluasi terhadap dokumen penawaran KSO Waskita-Acset.
Baca juga : Sidang Kasus Hoax Babi Ngepet, Ulah Terdakwa Timbulkan Kerumunan dan Keonaran
Kedua, Djoko bersama Yudhi dalam membuat harga perkiraan sendiri (HPS), justru menyetujui atau HPS owner estimate. Yudhi Mahyudin dan tim panitia pengadaan tidak pernah melakukan survei secara langsung, tapi hanya mendasarkan dalam jurnal-jurnal yang ada di Jakarta.
"Serta hanya merujuk kepada LAB yang diperoleh dari terdakwa Djoko Dwijono selaku pejabat pelaksana pengadaan barang dan jasa sebesar Rp 13.537.123.215.000 setelah dipotong PPN (pajak pertambahan nilai)," ucap hakim.
Berikutnya, terdakwa Djoko bersama-sama Yudhi tidak melakukan evaluasi kepada dokumen spesifikasi khusus yang mengarah ke pemenang lelang pekerjaan steel box girder pada merek perusahaan tertentu, yaitu PT Bukaka Teknik Utama.
Yakni adanya pencantuman kriteria struktur jembatan girder komposit Bukaka pada dokumen spesifikasi khusus, lalu dokumen itu ditetapkan Djoko sebagai dokumen lelang pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II.
Keempat, Djoko bersama Yudhi tidak melakukan evaluasi terhadap dokumen spesifikasi khusus yang diubah Tony Budianto Sihite bersama-sama dengan Sofiah Balfas serta saksi Dono Parwoto.
Adapun dokumen itu tidak sesuai dengan basic design atau desain awal berupa tidak mencantumkan tinggi girder pada dokumen penawaran. Sehingga bentuk steel box girder berubah dari perencanaan awal basic design steel box girder berbentuk V dengan ukuran 2,80 m x 2,05 m bentangan 30 meter.
Dan di dokumen spesifikasi khusus atau dokumen lelang konstruksi berubah menjadi steel box girder berbentuk U dengan ukuran 2,675 m x 2 m bentangan 60 meter.
"Sedangkan pada pelaksaannya, steel box girder U terpasang dengan ukuran 2,350 m x 2 m dan seterusnya, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan pengguna jalan," kata hakim.
Kelima, Djoko bersama-sama Yudhi, Tony, dan pihak KSO Waskita-Acset menyetujui perubahan mutu beton K500 yang disyaratkan dalam dokumen spesifikasi khusus dengan kuat tekan FC 41,5 Mpa menjadi nilai mutu beton FC 35 Mpa dan seterusnya. Sehingga mengakibatkan ketidaknyamanan penggunaan jalan tol.
Keenam, Djoko Dwijono tidak melaksanakan evaluasi dan pengendalian terhadap kegiatan pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II. Sehingga hasil pekerjaan tidak dapat dimanfaatkan sesuai dengan feasibility study atau studi kelayakan dan kriteria design yang sudah ditetapkan.
"Tujuh, bahwa terhadap pekerjaan pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated oleh Dono Parwoto selaku kuasa KSO Waskita-Acset, hampir seluruh pekerjaan utama dialihkan, disubkon ke pihak lain sebagaimana telah dipertimbangkan di atas," lanjut hakim.
Karenanya hakim menganggap, perbuatan Djoko Dwijono bersama para terdakwa lain dan Dono Parwoto, telah memperkaya KSO Waskita-Acset senilai Rp 510 miliar. Sebab, pihak JJC telah melakukan pembayaran atas pekerjaan konstruksi pembangunan Tol MBZ kepada KSO Waskita-Acset.
Namun begitu, majelis menyatakan sependapat dengan apa yang disampaikan penuntut umum dalam tuntutannya. Pada pokoknya, terdakwa Djoko Dwijono, Sofiah Balfas, Tony Budianto Sihite, dan Yudhi Mahyudin tidak memperoleh ataupun menikmati hasil tindak pidana korupsi atas timbulnya kerugian keuangan negara sebesar Rp 510.085.261.485,41 di kasus korupsi Tol MBZ ini.
Karena menurut hakim, nilai kerugian negara itu telah dinikmati atau diperoleh atau dibayarkan kepada KSO Waskita-Acset. Dan sepanjang persidangan kasus rasuah ini, hakim menyebut bahwa tidak tidak satupun bukti yang menunjukkan adanya aliran kerugian negara tersebut diterima dan dinikmati terdakwa.
"Sehingga terdakwa Djoko Dwijono tidak dapat dibebani untuk membayar uang pengganti sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 18 Ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," lanjut hakim.
Baca juga : Kejari dan Polres Depok Panggil Sejumlah Pegawai Damkar Depok
Begitu pula dengan terdakwa lainnya, Sofiah Balfas, Tony Budianto Sihite, dan Yudhi Mahyudin. Ketiganya juga tak terbukti menerima uang hasil korupsi, sehingga terhadap mereka pun tidak dibebankan untuk membayar uang pengganti.
Dalam pertimbangan hukum putusan terdakwa Tony Budianto Sihite, majelis hakim menyatakan bahwa KSO Waskita-Acset yang bertanggung jawab atas kerugian keuangan negara sebesar Rp 510 miliar.
Hakim menguraikan, penandatanganan kontrak pekerjaan konstruksi pembangunan Tol MBZ dilakukan Dono Parwoto selaku kuasa KSO Waskita-Acset dengan Djoko Dwijono selaku Dirut JJC pada 27 Februari 2017.
Namun dari fakta persidangan, KSO Waskita-Acset dalam pelaksanaannya malah mensubkontrakkan pekerjaan pokok kepada KSO Bukaka-KS dan pihak lain.
"Dan mengakibatkan terjadinya kekurangan volume dan mutu yang menimbulkan kerugian negara. Sehingga KSO Waskita-Acset sebagai pemilik dan pelaksana pekerjaan harus bertanggung jawab terhadap kerugian negara sebesar Rp 510.085.261.485,41," kata hakim.
Hakim membeberkan sejumlah pekerjaan utama yang disubkontrakan kepada pihak lain oleh kontraktor utama proyek Tol MBZ. Pertama, pekerjaan design dikerjakan oleh Tony Budianto Sihite menggunakan perusahaan LAPI Ganeshatama; pekerjaan struktur beton dikerjakan pihak lain.
Kemudian, pekerjaan struktur baja disubkontrakan kepada Sofiah Balfas selaku kuasa KSO Bukaka-Krakatau Steel (KS), dan menjelang akhir pekerjaan PT Waskita melakukan subkontrak struktur baja kepada pihak lain yaitu PT Guna Nusa dan PT Waknal.
"Untuk pekerjaan beton, dikerjakan subkontrak pihak lain," ucap hakim.
Menurut hakim, tindakan saksi Dono Parwoto selaku KSO Waskita-Acset diketahui Dirut JJC Djoko Dwijono dalam mengalihkan pekerjaan, terutama pekerjaan utama. Padahal tindakan pengalihan pekerjaan utama itu telah dilarang sebagimana dalam kontrak perjanjian konstruksi Pasal 10 Ayat 2.
"Yaitu PT Waskita-Acset dilarang mengalihkan tanggung jawab sebagian pekerjaan utama dengan memberikan pekerjaan tersebut kepada pihak lain dengan cara dan alasan apapun. Kecuali disubkontrakan kepada penyedia atau jasa spesialis atas persetujuan dari wakil pihak pertama di lapangan," beber hakim.
Sementara dalam amar putusannya, majelis hakim memvonis Djoko Dwijono dengan pidana penjara selama 3 tahun. Hakim juga menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 250 juta.
"Dengan ketentuan, bila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan penjara selama 3 bulan," ucap hakim Fahzal Hendri, membacakan vonisnya.
Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan atas diri terdakwa sebelum menjatuhkan vonisnya.
Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa Djoko tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sedangkan hal yang meringankan, terdakwa Djoko mengaku bersalah dan menyesali terhadap perbuatan yang telah dilakukan serta bersikap sopan selama di persidangan. Djoko merupakan tulang punggung dalam keluarganya, belum pernah dihukum.
"Kemudian, hasil pengerjaan berupa Jalan Tol MBZ sudah dimanfaatkan oleh masyarakat, dan kenyataannya telah dapat mengurangi terjadinya kemacetan lalu lintas," beber hakim.
Atas putusan ini, Djoko dan tim penasihat hukumnya menyatakan pikir-pikir untuk melakukan upaya hukum lanjutan atas vonis tersebut. Demikian halnya dengan jaksa penuntut umum Kejagung.
Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa, yang menuntut Djoko dengan hukuman 4 tahun penjara. Jaksa juga menuntut terdakwa Djoko dengan pidana denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Untuk terdakwa Sofiah Balfas dan Tony Budianto Sihite, masing-masing divonis dengan pidana penjara selama 4 tahun. Keduanya juga dikenakan pidana denda masing-masing Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan.
Hakim menganggap, terdakwa Sofiah Balfas dan terdakwa Tony Budianto Sihite terbukti melanggar Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor sebagaimana dakwaan primer penuntut umum.
Merespons putusannya, Sofiah Balfas dan penasihat hukumnya sepakat menyatakan pikir-pikir untuk langkah hukum selanjutnya. Hal serupa juga diungkapkan Tony Budianto Sihite dan penasihat hukumnya.
Senada, jaksa Kejagung juga menyatakan hal yang sama. "Pikir-pikir, Yang Mulia," kata jaksa.
Vonis penjara 4 tahun yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa Sofiah dan Tony pun lebih ringan dari tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa menuntut keduanya dengan pidana penjara selama 5 tahun serta pidana denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan.
Selanjutnya vonis untuk terdakwa Yudhi Mahyudin. Hakim menganggap Yudhi terbukti melanggar Pasal 3 UU Tipikor sebagaimana dakwaan subsider penuntut umum.
Sama dengan terdakwa Djoko Dwijono, Yudhi pun dianggap telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai ketua panitia lelang proyek Tol MBZ. Hakim memvonisnya dengan pidana penjara selama 3 tahun dan denda sebesar Rp 250 juta subsider 3 bulan.
Selain itu, hakim memerintahkan jaksa mengembalikan barang bukti dalam perkara Yudhi berupa uang dalam rekening bank atas nama terdakwa sebesar Rp 10 juta.
Kemudian, memerintahkan jaksa agar mengembalikan sebidang tanah seluas 429 meter persegi di Pacet, Kabupaten Cianjur untuk dikembalikan.
Hakim menyatakan, aset tersebut tak terkait dengan perkara rasuah yang menyeret Yudhi. Karena di persidangan, sumber uang untuk pembelian tanah itu dari dana pensiun Yudhi sebagai pegawai Jasa Marga sebesar Rp 1.324.966.347 pada 22 Juni 2017.
Atas putusan ini, terdakwa Yudhi dan penasihat hukumnya menyatakan pikir-pikir. Hal yang sama diutarakan jaksa penuntut umum Kejagung di persidangan. (Yud)