LampuHijau.co.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan, masih melakukan penelaahan terkait kasus dugaan fraud dan Kalimantan fiktif rumah sakit ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Penelaahan dilakukan Deputi Penindakan dan Monitoring KPK.
Juru Bicara KPK Tessa Mahardika mengemukakan, bila kasus itu masuk dalam kewenangan KPK, maka dipastikan bakal ditindaklanjuti. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.
"Yaitu melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan atau menyangkut kerugian negara senilai Rp 1 miliar," beber Tessa kepada wartawan, Minggu, 28 Juli 2024.
"Jika di luar kewenangan KPK, maka akan berkoordinasi dengan penegak hukum yang lain melalui bagian kordinasi dan supervisi yang ada di KPK," sambungnya.
Sebelumnya, KPK bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan BPJS membentuk Tim Penanganan JKN untuk mengungkap fraud klaim JKN. Hal ini menyusul temuan kalim fiktif sejumlah rumah sakit di Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Tengah pada 2018.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan, dugaan kecurangan ini setelah tim bersama melakukan investigasi ke tiga rumah sakit di dua provinsi itu. Tim terjun ke lapangan pada 2018 lalu, melakukan pengumpulan bahan keterangan seluruh dokumen (pulbaket).
Awalnya, KPK lewat monitoring melakukan pengecekan terhadap enam rumah sakit swasta di dua provinsi tersebut. Khususnya terhadap dua layanan fasilitas kesehatan, fisioterapi dan katarak.
Baca juga : Kasus Pemerasan SYL, Jaksa KPK: Korupsi Dilakukan dengan Motif Tamak
"Ternyata di tiga rumah sakit ada tagihan klaim 4.341 kasus, tapi sebenarnya hanya 1.000 kasus yang ada catatan medis. Jadi, sekitar tiga ribuan diklaim sebagai fisioterspi, tapi nggak ada catatan medisnya.
Kita bilang bahwa 3.269 ini sebenarnya fiktif, yang kita bilang kategori 2 (phantom billing). Jadi, medical diagnosis yang dibuat secara tidak benar, gitu," ungkap Pahala dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu, 24 Juli 2024.
Adapun enam modus operandi yang dilakukan rumah sakit nakal itu adalah phantom billing, melakukan klaim atas layanan yang tidak pernah diberikan (klaim fiktif); manipulation diagnosis, memberikan diagnosis yang berbeda dengan hasil pemeriksaan untuk mendapatkan klaim yang lebih tinggi; self referrals, klaim atas biaya pelayanan akibat rujukan ke rumah sakit tertentu atau ke dokter yang sama di fasilitas jesehatan lain kecuali dengan alasan keterbatasan fasilitas.
Kemudian modus upcoding, mengubah kode diagnosis/prosedur sehingga tarif lebih tinggi dari yang seharusnya; repeat billing, klaim yang diulang pada kasus yang sama; dan modus fragmentation, pemecahan paket pelayanan dalam episode yang sama untuk mendapatkan nilai klaim yang lebih besar pada satu episode perawatan pasien.
Pahala mencontohkan, pihak rumah sakit menagihkan 10 kali fisioterapi kepada BPJS, tapi berdasar catatan medis hanya dua kali. Dan setelah ditanyakan ke pihak pasien, hanya dua kali fisioterapi.
"Orangnya ada, terapinya ada, tapi digelembungin nilai klaimnya. Itu kita temukan di 2018," sambungnya.
Berikutnya, terhadap fasilitas kesehatan katarak di tiga rumah sakit. Dari sampel 39 pasien, hanya 14 pasien yang patut dioperasi. Tapi seluruh pasien tersebut justru diklaim melakukan operasi.
"Kita cek. Kita bilang, 'ini dioperasinya satu mata, diklaimnya dua mata'. Kira-kira begitu waktu itu," kata Pahala lagi.
Baca juga : Kasus Pengadaan Tanah Di Rorotan, KPK Ungkap Persekongkolan Makelar Tanah
Dari keenam modus tersebut, dua kategori paling awal merupakan yang paling brutal dilakukan pihak rumah sakit. Adapun contoh di atas adalah kategori manipulation diagnosis.
Sedangkan kategori paling pertama yaitu phantom billing, yang cuma membuat dokumen klaim tindakan alias benar-benar fiktif.
"Pasiennya nggak ada, terapinya nggak ada, tapi dokumennya dibikin sedemikian. Sehingga seakan-akan dia mengklaim untuk orang yang ada dengan terapi segala macam," bebernya.
Menurut Pahala, ketiga rumah sakit inilah yang melakukan phantom billing alias merekayasa dokumen. Satu rumah sakit di Jawa Tengah dengan nilai klaim sekitar Rp 29 miliar, dua rumah sakit lainnya di Sumatera Utara masing-masing klaim sekitar Rp 1 miliar dan Rp 4 miliar.
Selanjutnya, dari pulbaket hasil temuan tim bersama terhadap tiga rumah sakit inilah yang kemudian dipaparkan ke pimpinan KPK. Hasilnya, tiga rumah sakit tersebut disepakati untuk dilakukan penindakan ke aparat penegak hukum, bisa oleh kejaksaan maupun KPK sendiri.
"Tapi yang tiga ini sudah pindah ke penindakan, karena bukti indikasinya sudah cukup," lanjut Pahala.
Sedangkan terhadap tiga rumah sakit lainnya, bakal dikenakan sanksi pengembalian dana atas dua modus klaim fiktif yang telah dilakukan, termasuk pengenaan dendanya. Hal ini dilandaskan pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19.
Ketiga rumah sakit tersebut pun mendapat tenggang waktu selama enam bulan ke depan untuk mengembalikan dana sekaligus mengoreksi klaimnya ke BPJS. Hal ini berdasar kesepakatan tim bersama sebagai grey priode.
Baca juga : Kasus Investasi Fiktif PT Taspen, Direktur Keuangan Asabri Benarkan Investasi Rp 1 T
"Daripada nanti kita periksa beneran, selain suruh kembaliin, juga akan pindah ke ranah pidana. Jadi, sukarela saja mengoreksi klaimnya," kata Pahala.
Karena nantinya, pihak Kemenkes bakal menerapkan sanksi lebih tegas. Mulai pemutusan kerja sama dari BPJS sampai pencabutan izin praktik dokter-dokter yang terlibat. Pahala memastikan, perbuatan lancung bukan hanya dilakukan dokter, melainkan manajemen rumah sakit juga pemilik.
Inspektur Jenderal Kemenkes Murti Utami mengatakan, tim bersama ini juga tengah menyiapkan tim di level provinsi untuk melakukan verifikasi fraud atau audit atas klaim, agar lebih masif lagi. Dari laporan yang diterimanya, tim itu di telah dibentuk sejak 2019.
"Tidak saja faskesnya, tapi individunya juga akan dikenakan sanksi. Jadi, kami juga turut melakukan pengolahan jenis-jenis sanksi terhadap para pelaku fraud tadi," bebernya.
Selain itu, pihaknya telah memiliki sistem informasi sumber daya manusia kesehatan. Sistem ini menyajikan data petugas kesehatan terkait data diri, lokasi kerja, juga rekam jejak. Jika dokter yang telah terbukti ikut serta melakukan fraud, maka terdata dalam sistem tersebut.
"Salah satu langkah kita akan berikan sanksi mulai dari penghentian pengumpulan SKP (sistem kredit profesi) selama enam bulan. Dan yang paling berat adalah pencabutan izin praktik," tegasnya. (Yud)