Korupsi Pengadaan APD, KPK Tetapkan 3 Tersangka dan Sita Aset Senilai Rp 30 M

Juru Bicara KPK Tessa Mahardika. (Foto: yud)
Rabu, 3 Juli 2024, 20:05 WIB
Jakarta City

LampuHijau.co.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan tiga tersangka dalam perkara dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2020.

Lembaga antirasuah juga melakukan penyitaan aset milik para tersangka senilai Rp 30 miliar. Namun identitas ketiga tersangka tersebut masih dirahasiakan karena penyidikannya masih berjalan hingga saat ini.

Juru Bicara KPK Tessa Mahardika mengungkapkan, penyidikan kasus korupsi ini berlangsung sejak September 2023. Penyitaan yang dilakukan tim penyidik terhadap sejumlah aset milik para tersangka, dilakukan selama rentang Juni 2024.

Aset ketiga tersangka itu terdiri dari enam unit rumah dan dua unit apartemen yang disita di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

"Dengan taksiran total harga untuk delapan aset tersebut sebesar kurang lebih Rp 30 miliar," ungkap Tessa dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, 3 Juli 2024.

Tim penyidik KPK turut menyita uang sejumlah Rp 1.540.200.000 dari para tersangka dan rekan bisnisnya. KPK juga menyita aset-aset rekan para tersangka, yakni berupa Automatic Intelligent Disinfection Robot (robot pembasmi virus Covid 19) senilai Rp 500 juta, 10 face recognition access control terminal senilai total Rp 350 juta, 3 unit kendaraan roda empat (1 truk boks dan 2 mobil van), dan 1 unit kendaraan roda dua.

"Penyidik KPK sampai dengan saat ini masih terus menelusuri aset-aset lainnya, yang diduga berasal dari dugaan tindak pidana korupsi perkara tersebut," sambung Tessa.

Berita Terkait : KPK Tahan 2 Tersangka Pengadaan APD, Kerugian Negara Rp 319 M Karena Ada Mark-up

Tessa menerangkan, dalam pengadaan APD ini menggunakan dana siapa pakai Badan Nasional Penanggulangan Bencana. KPK menduga, nilai kerugian keuangan negara atas kasus rasuah ini mencapai Rp 300 miliar.

Adapun kasus korupsi ini terkait pengadaan APD pada masa pandemi Covid-19. Pengadaan APD diperuntukkan para tenaga medis sebagai garda terdepan di masa tersebut. Pihak Kemenkes melakukan pengadaan APD sebanyak 5 juta set senilai Rp 3,03 triliun.

Salah satu tersangka, mantan Kepala Pusat Krisis Kemenkes Budi Sylvana sempat menyinggung mengenai perintah jabatan, yang mana dia ditunjuk sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) pengganti, saat proses pengadaan APD dilakukan pada awal 2020 lalu.

"Saya ditunjuk sebagai PPK oleh pimpinan saya. Ya, karena perintah jabatan, saya tidak bisa menghindar saat itu," akunya usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka di Gedung Merah Putih KPK, Rabu, 26 Juni 2024.

Dia menegaskan, tidak mengetahui pasti soal proses awal pengadaan APD. Juga tak tahu persis terkait penetapan harga, penunjukan vendor, hingga pendistribusian APD. Adapun soal penentuan harga, ia sempat mengatakan bahwa harga ditetapkan oleh BNPB. Tapi ia tak menjelaskan detail terkait hal itu.

"Barang itu juga sudah diambil duluan, bukan saya yang ambil. (Yang mengambil) Satgas. BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana)," ungkapnya yang didampingi penasihat hukumnya, Ali Yusuf.

Dia juga membantah pengadaan APD Covid-19 adalah fiktif. Karena menurutnya, pengadaan barang tersebut memang ada dan terjadi.

Sementara terkait hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) soal adanya ketidakwajaran harga, Budi kembali menegaskan bahwa yang menetapkan harga bukan dirinya. Karena ia sebatas sebagai PPK pengganti pada saat itu.

"Prosesnya di BNPB saat itu. Lebih detailnya ke penyidik ya. Saya jelaskan proses dari awal sampai akhir, proses ini dalam masa darurat saat itu," imbuhnya.

Berita Terkait : KPK Tetapkan 4 Tersangka Kasus Korupsi Pencaplokan PT JN, ASDP Siap Bekerja Sama

Adapun penasihat hukum Budi, Ali Yusuf mengatakan, kliennya menjadi PPK menggantikan PPK sebelumnya, Eri Gunawan. Menurutnya, Eri mengundurkan diri karena tidak pernah terlibat dan tidak pernah melihat dokumen terkait dengan penetapan kebutuhan penunjukan penyedia, hasil pekerjaan, serah terima pekerjaan, sampai dengan distribusinya.

"Selain itu, APD sudah didistribusikan, tetapi proses pengadaan belum dilakukan, itulah alasan Eri Gunawan sebagai PPK sebelumnya mengundurkan diri," bebernya.

Untuk itu, Ali mengeklaim, peran Budi sebagai PPK hanya sebatas juru bayar. Dia mengatakan, hal itu ditegaskan oleh perwakilan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), yang ditulis dalam laporan kegiatan.

"Budi Sylvana demi menyelamatkan nyawa manusia dalam keadaan Covid-19, dia rela menjadi PPK pengganti Eri Gunawan," lanjut Ali Yusuf.

Diketahui, KPK beberapa kali memanggil sejumlah saksi berkewarganegaraan Korea Selatan, di antaranya Direktur PT GA Indonesia Song Sung Wok pada 15 Maret 2024 serta Direktur PT Glotech Indah Jeon Byung Kil pada 23 Februari 2024.

Sementara perusahaan pembuat APD yang memasok untuk Gugus Tugas Covid-19 (selaku kuasa pengguna anggaran) saat pandemi yakni PT Energi Kita Indonesia (EKI). Perusahaan ini mendapat bahan baku dari Korea Selatan. Kemudian, PT EKI menyuplai APD berupa hazmat kepada PT Permana Putra Mandiri (PPM), perusahaan yang ditunjuk langsung dalam pengadaan tersebut.

Direktur PT EKI Satrio Wibowo mengatakan, pasokan barangnya diambil lebih dulu oleh Gugus Tugas tanpa proses lelang. Saat itu, pihak Gugus Tugas memesan sebanyak 5 juta set APD.

"Mulanya diambil dulu barangnya (APD). Jadi, prosedurnya itu darurat tidak ada proses lelang. Yang udah diserap 3 jutaan. Ada audit dari BPKP pada saat itu, disetop karena proses pengadaannya. Jadi, masih ada sisa 2 juta APD belum diserap," akunya usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka di Gedung Merah Putih KPK pada 19 April 2024.

Sementara untuk pembayarannya melalui PT PPM sebagai perusahaan yang ditunjuk langsung. Namun hingga kini, perusahaannya (PT EKI) belum menerima sisa pembayaran untuk 2 juta set APD tersebut.

Berita Terkait : KPK Tetapkan 4 Tersangka Kasus Korupsi di PT ASDP

"Jadi, uang itu masuk ke PT Permana. PT EKI itu sebagai pemilik barang. Jadi, Kementerian bayar ke PT Permana, PT Permana bayar ke EKI. Jadi, tidak transparan, rekapitulasinya itu tidak duduk bareng soal perubahan harga ini," imbuhnya.

Dia juga mengakui saat itu KPK ikut rapat bersama dalam proses pengadaan APD. Dia pun merasa terjebak lantaran kemudian dirinya menjadi tersangka dalam perkara ini.

"Kalau kita sekarang tersangka, sangat terjebak kalau kita tahu seperti ini. Kita sudah sempat keluar ruangan rapat, kalau mau mencari harga yang menurutnya bisa murah silakan, kami sudah mundur. Tapi karena kondisi darurat, kami dipanggil lagi. 'Karena cuma Anda (PT EKI) yang punya'. Ya, kita suplai," bebernya.

Satrio menjelaskan, awalnya ia menolak menyuplai APD kepada PT PPM lantaran harga yang dipatok pemerintah hanya sekitar Rp 300 ribu per set terlalu rendah. Padahal menurutnya, harga pasaran saat itu bisa mencapai Rp 1 juta bahkan Rp 2 juta.

Lanjutnya, ada dua pengadaan APD yang disuplai oleh PT PPM. Ada dua surat pesanan APD yang diterbitkan pada periode sebelum pandemi dan sudah masuk pandemi. Dia mengatakan, harga Rp 300 ribu yang ditawarkan pemerintah hanya berdasar berita acara kewajaran harga secara sepihak oleh Kemenkes.

"Jadi, ada dua surat pesanan nih, beda. Jadi, pas satu yang kondisi normal atau prapandemi, satu lagi kondisi darurat. Jadi, kami disangkanya mark up, padahal dugaan mark up," bebernya.

Dalam kasus rasuah ini, KPK telah melakukan cegah kepada lima orang, tiga di antaranya adalah tersangka. Menurut informasi, lima orang yang dicegah itu yakni Budi Sylvana (PNS), Satrio Wibowo (swasta), Ahmad Taufik (swasta), A. Isdar Yusuf (advokat), dan Harmensyah (PNS). Sementara tiga orang yang telah ditetapkan tersangka adalah Pembuat Komitmen (PPK) Kemenkes 2020 Budi Sylvana, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo, dan Direktur PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik. (Yud)

Index Berita
Tgl :
Silahkan pilih tanggal untuk melihat daftar berita per-tanggal