LampuHijau.co.id - Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan vonis dua tahun penjara kepada Komisaris di PT Bina Putra Sejati dan PT Intertekno Grafikasejati Mulsunadi Gunawan.
Vonis yang diterima penyuap mantan Kepala Badan Nasional dan Pertolongan (Kabasarnas) Marsekal Madya (Marsdya) Henri Alfiandi itu lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut 3,5 tahun penjara.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Mulsunadi Gunawan, oleh karena itu dengan pidana penjara selama dua tahun," ucap Ketua Majelis Hakim Asmudi saat membacakan amar putusannya di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (21/12/2023).
Selain pidana badan, hakim juga menjatuhkan denda sebesar Rp 200 juta subsider empat bulan penjara.
Selain itu, majelis hakim juga memvonis Direktur Dirut PT Intertekno Grafika Sejati Marilya, yang merupakan kepanjangan tangan Mulsunadi dalam perkara suap. Uang suap yang juga dikenal dengan sebutan dana komando (dako), sebesar 10 persen dari nilai kontrak proyek yang didapat dua perusahaan mereka di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).
Dalam putusannya, majelis hakim memvonis Marilya dengan pidana dua tahun penjara. Terhadapnya juga dijatuhi denda sebesar Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan badan.
Majelis hakim meyakini, Mulsunadi dan Marilya bersalah telah melakukan korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Tindakan mereka terbukti sebagaimana dalam dakwaan alternatif kedua jaksa KPK, melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tipikor Jo. Pasal 64 Ayat (1) Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Menurut hakim, Mulsunadi dan Marilya tak hanya menyerahkan uang dako kepada mantan Kabasarnas Henri Alfiandi melalui Koordinator Administrasi (Koorsmin) Letnan Kolonel (Letkol) Afri Budi Cahyanto. Ada juga pemberian berupa uang Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pejabat di Basarnas, termasuk Henri Alfiandi.
Adapun dana komando yang telah diberikan Mulsunadi dan Marilya totalnya Rp 3,3 miliar. Jumlah itu berasal dari tiga proyek di Basarnas yang dikerjakan dua perusahaannya, PT Bina Putra Sejati dan PT Intertekno Grafikasejati.
Berita Terkait : Surat Keterangan Kekurangan Serah Emas Budi Said Nggak Sesuai dengan Dokumen Keuangan Antam Tuh!!!
Rincian dako yakni tahun 2021 dibayar menggunakan cek senilai Rp 831.292.500 dari rekening bank BNI atas nama PT Bina Putera Sejati yang ditandatangani Mulsunadi. Cek itu diserahkan langsung Marilya kepada Afri pada 24 Januari 2022 di kantor Basarnas, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Dana itu adalah imbalan atas pengerjaan proyek alat pendeteksi korban reruntuhan tahun anggaran 2021. Kala itu, proyeknya dikerjakan lewat bendera PT Sahabat Inovasi Pertahanan, yang nilai kontraknya sebesar Rp 8.372.925.000.
Kemudian, dana komando tahun 2022 sebesar Rp 1.499.999.898 melalui cek Bank BNI atas nama PT Bina Putera Sejati pada 5 Juli 2022, yang ditandatangani Mulsunadi. Cek untuk Henri Alfiandi itu diserahkan Marilya kepada Afri di kantor Basarnas.
Uang diberikan sebagai imbalan pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan tahun 2022, dengan nilai kontrak Rp 14.999.999.999. Pembayaran dako berikutnya pada tahun 2023 secara tunai sebesar Rp 999.710.400. Dana ini berasal dari pengerjaan proyek pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan dengan nilai kontrak Rp 9.997.104.000. Uang diserahkan terdakwa Marilya lewat sopirnya, Hari Wibowo dan Erma Setiawan kepada Afri pada 25 Juli 2023 siang, di parkiran mobil Bank BRI Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur.
Sehingga jumlah total Rp 3.331.002.798. Dari jumlah tersebut, bagian yang diterima Henri Alfiandi sebesar 15 persen. Rincian penerimaannya yakni pada 24 Januari 2022 Rp 125.593.500, pada 7 Juli 2022 Rp 225 juta, dan tanggal 25 Juli 2023 Rp 150 juta.
Majelis hakim menyatakan, atas perintah Mulsunadi, terdakwa Marilya juga memberikan uang hadiah THR tahun 2022 dan 2023 kepada sejumlah pejabat Basarnas.
"Dengan rincian, Henri Alfiandi selaku Kabasarnas Rp 100 juta dan 5 ribu dolar Amerika Serikat (USD), Fachrizet selaku Deputi Sarpras (Sarana dan Prasarana) USD 2.500 dan USD 2.000, Danang Setiabudi selaku Direktur Sarpras USD 2.000, pihak-pihak lain di Basarnas Rp 48 juta," beber hakim anggota, Sigit Herman Binaji.
"Menimbang bahwa berdasarkan rangkaian pertimbangan tersebut di atas bahwa unsur memberi sesuatu telah terpenuhi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara," sambungnya.
Dalam persidangan kemarin, majelis hakim juga memvonis Direktur PT Kindah Abadi Utama sekaligus pemegang saham Komanditer Perseroan CV Pandu Aksara, Roni Aidil. Hakim meyakini, terdakwa Roni juga telah terbukti bersalah karena telah melakukan penyuapan kepada Henri Alfiandi melalui Afri Budi Cahyanto.
Berita Terkait : Modal Kasih Duit Rokok, Mantan Penghuni Loloskan Uang Rp 320 Juta ke Rutan KPK
Serupa dengan Mulsunadi dan Marilya, Roni pun turut menyerahkan dako atas pengerjaan proyek dua perusahaannya di Basarnas.
Total ada empat proyek yang dikerjakan Roni Aidil. Pertama, pengadaan Hoist Helikopter Tahun Anggaran (TA) 2021 senilai Rp 11.856.680.000. Dari nilai itu, ia memberikan fee sebesar Rp 746.970.840.
Lalu, pengadaan Public Safety Diving Equipment TA 2021 senilai Rp 14.480.718.600, nilai fee yang diberikan Rp 1.132.500.000. Ketiga, pekerjaan Modifikasi Kemampuan Sistem ROV (Remote Operated Vehicle) TA 2021 senilai Rp 9.918.536.100. Besaran fee yang diberikan Rp 888.200.000 dan Rp 1.332.200.000.
Dan keempat, pengadaan Public Safety Diving Equipment TA 2023 senilai Rp 17.445.969.900, fee yang diberikan Rp 1,5 miliar dan Rp 2.316.200.000.
Selanjutnya, Henri Alfiandi mendapat jatah 15 persen dari dako atas pemberian terdakwa Roni Aidil. Maka ia mendapat Rp 6.037.375.626.
Majelis hakim memvonis Roni Aidil dengan pidana penjara selama 2,5 tahun dan denda sebesar Rp 200 juta subsider 4 bulan penjara. Majelis hakim meyakini, Roni Aidil terbukti melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tipikor Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
** Dakwaan Letkol Afri Budi Cahyanto **
Sementara Letkol Afri Budi Cahyanto juga menjalani sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Cakung, Jakarta Timur, Kamis petang. Dia didakwa telah menerima suap terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan Basarnas mencapai Rp 8,3 miliar.
Menurut Oditur, Afri menerima suap secara bersama-sama dengan mantan Kabasarnas Henri Alfiandi.
Berita Terkait : 8 Orang Di Satu Ruangan, Eks Tahanan Sebut Petugas Rutan KPK Tidak Manusiawi
"Telah melakukan tindak pidana, pegawai negeri atau penyelenggara negara secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, menerima hadiah padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya," kata Oditur Kolonel Laut Wensuslaus Kapo membacakan surat dakwaan, Kamis (21/12/2023).
Afri menerima suap berasal dari dako, yang merupakan 10 persen setelah dipotong pajak dari nilai proyek yang diserahkan para vendor. Uang diterima Afri sejak ia ditarik Henri ke Basarnas pada 2021 hingga 2023. Penerimaan uang oleh Afri atas perintah Henri.
"Dako tersebut diberikan oleh pemenang tender kepada saksi IV (Henri Alfiandi) melalui terdakwa setelah pekerjaan selesai. Setelah setiap pemberian dako atas proyek dan pekerjaan yang telah selesai, selalu terdakwa melaporkan kepada saksi IV," sambungnya.
Menurut Oditur, total suap Rp 8,3 miliar yang diterima Afri berasal dari Direktur PT Kindah Abadi Utama sekaligus pesero Komanditer Perseroan CV Pandu Aksara, Roni Aidil; juga dari Komisaris PT Multi Grafika Cipta Sejati sekaligus Komisaris PT Bina Putera Sejati Mulsunadi Gunawan, dan Dirut PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya.
"Jika dihitung secara keseluruhan jumlah uang dana komando yang didapat dari PT Sejati Group atas anak cabang PT Bina Putera Sejati dan PT Intertekno Grafika Sejati serta PT Kindah Abadi Utama adalah Rp 3.337.002.900 dan Rp 4.990.051.860, dengan total Rp 8.327.054.760," bebernya.
Menurut Oditur, Afri membagi-bagi dako berdasar penggunaannya atas arahan Henri. Di antaranya untuk operasional sebesar 77,5 persen, dana cadangan jika dalam operasional kurang atau santunan 2,5 persen, jatah Henri 15 persen, dan untuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 5 persen. Selain itu, ada juga beberapa penggunaan lainnya.
"Bahwa pada saat terdakwa bertugas di Basarnas, setiap bulan terdakwa menerima uang dari dako untuk operasional sebesar 77,5 persen, untuk insentif bulanan Rp 5 juta, untuk pengganti tukin Rp 2 juta, dan untuk BBM dan e-toll serta operasional Rp 3 juta, THR tahun 2022 sebesar Rp 20 juta, dan bonus akhir tahun 2022 sebesar Rp 20 juta," ungkap Oditur.
Atas perbuatannya, Afri Budi Cahyanto dianggap melanggar Pasal 12 huruf b atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (Yud)