LampuHijau.co.id - Penulis: Agus Zaini
"Political necessities sometimes turn out to be political mistakes - Kebutuhan politik terkadang berubah menjadi kesalahan politik". (George Bernard Shaw)
Deklarasi empat partai pengusung Prabowo sebagai calon presiden menjadi penutup langkah para ketua umum partai yang belakangan ini sibuk mencari mitra koalisi. Partai Gerindra, PKB, Partai Golkar, dan PAN deklarasi bersama memantapkan koalisi mengusung Prabowo menjadi Capres 2024.
Awalnya banyak pengamat menduga Ganjar akan menjadi calon presiden dengan dukungan besar. Partai-partai yang memiliki kursi di parlemen diprediksi akan merapat ke Ganjar.
Faktanya mengatakan lain, Ganjar sementara ini hanya didukung oleh PDIP dan PPP, ditambah dengan dua partai tanpa kursi parlemen yaitu Perindo dan Hanura.
Perubahan konstelasi politik yang begitu cepat ini membuat banyak pihak bertanya-tanya, mengapa Ganjar gagal menjadi magnet politik? Padahal sosok Ganjar sudah begitu populer dan dari beberapa survei elektabilitasnya selalu berada di puncak.
Ganjar dianggap sosok paling tepat diposisikan sebagai capres yang akan melanjutkan program-program Jokowi. Beberapa kali Jokowi memberi sinyal dukungannya kepada Ganjar, si ramput putih, karena dianggap enerjik, mampu berkomunikasi dengan luwes, dan merakyat.
Uji Loyalitas Ganjar
Baca juga : Bom Bunuh Diri Meledak di Polsek Astana Anyar
Kita tentu masih ingat peristiwa yang terjadi pada bulan Maret 2023. Saat itu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menjadi sorotan publik usai menyatakan menolak kehadiran Tim Nasional Israel di Piala Dunia Sepakbola U-20 yang akan digelar di Indonesia.
Banyak pihak mempertanyakan sikap yang disampaikan oleh Ganjar. Selaku Gubernur seharusnya Ganjar paling gigih mendukung kesuksesan event internasional yang sudah dipersiapkan bertahun-tahun.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Ganjar menjadi salah satu Gubernur yang menolak kehadiran Timnas Israel sebagai salah satu peserta Piala Dunia U-20 yang akan digelar di Indonesia.
Alasannya cukup ideologis, penolakannya terhadap kehadiran Timnas Israel tidak lain karena memegang teguh amanat Bung Karno berkaitan dengan kemerdekaan Palestina.
"Kita sudah tahu bagaimana komitmen Bung Karno, baik yang disuarakan dalam Konferensi Asia Afrika, Gerakan Non Blok, dan maupun dalam Conference of the New Emerging Forces. Jadi ya kita ikut amanat beliau," kata Ganjar dalam keterangan tertulis, sebagaimana dikutip Detikcom, Kamis (23/3).
Sikap tegas yang dipertontonkan oleh Ganjar mengandung muatan politis. Sulit untuk dibantah, bahwa saat itu Ganjar dihadapkan pada pilihan dilematis. Sebagai Kader PDI Perjuangan Ganjar harus menunjukkan loyalitasnya, tegak lurus pada garis partai.
Di sisi lain, sebagai Gubernur Jawa Tengah, Ganjar harus bersikap pro-aktif mendukung dan menyukseskan ajang Piala Dunia U-20 yang menjadi program andalan Presiden Jokowi. Ganjar dihadapkan pada dua pilihan, ikut arahan Megawati, selaku Ketua Umum PDI Perjuangan yang juga dikenal sebagai "pemilik" partai.
Ataukah ikut Presiden Jokowi yang hanya sebatas "petugas" partai. Nyatanya Ganjar lebih memilih berada pada garis partai. Konsekuensinya, saat itu Ganjar menjadi salah satu Gubernur yang berseberangan dengan Presiden Jokowi. Dampaknya, perhelatan akbar Piala Dunia U-20 di Indonesia gagal terlaksana.
Baca juga : NasDem Sambut Baik Rencana Safari Politik Puan Maharani
Upaya Presiden Jokowi untuk melobby FIFA (Induk organisasi Sepakbola internasional) hanya membuahkan hasil minimal, setidaknya Indonesia tidak mendapat sanksi keras dari FIFA. Dari sinilah Ganjar berhasil meyakinkan Ibu Megawati, bahwa dia adalah kader loyal.
Tegak lurus kepada Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Loyalitasnya tak perlu diragukan lagi. Memang betul Ganjar berhasil meyakinkan Megawati, tapi disisi lain Ganjar justru merusak kepercayaan dari Presiden Jokowi.
Jangankan mengharapkan Ganjar dapat melanjutkan program-program setelah Jokowi lengser dari kursi kepresidenan, saat Jokowi masih menjabat Presiden saja program andalan Jokowi untuk mengharumkan nama Indonesia di panggung internasional dibuat berantakan.
Dan Ganjar menjadi salah satu orang yang berada di barisan paling depan yang menghancurkan impian besar bangsa Indonesia. Kecewakah Jokowi dengan perilaku Ganjar ? Tentu tidak akan pernah sedikit pun menemukan ucapan dan sikap Jokowi yang memperlihatkan rasa kecewa.
Jokowi masih bersikap bijak merespon situasi itu. Jokowi secara formal masih menjaga komunikasi positif dengan Ganjar, Megawati dan PDI Perjuangan. Jokowi tidak mau memperlihatkan rasa kecewa di hadapan publik.
Itulah hebatnya Jokowi, politisi asal Solo ini tetap santun dan "sumringah" walaupun harus menyimpan rasa kecewa yang mendalam. Jokowi tetap fokus kerja, kerja, dan kerja. Setelah peristiwa itu, perlahan-lahan Jokowi seperti menarik diri dan tidak lagi menjadi "influencer" untuk memaksimalkan pengaruh politk bagi kepentingan Ganjar ataupun PDIP.
Jokowi mengambil posisi netral, membiarkan proses politik berjalan apa adanya. Ganjar seperti kehilangan mentor politik. Hanya mampu berlari-lari kesana kemari, tanpa target politik yang jelas. Terlalu asyik dengan gaya flamboyan sambil berharap ada yang gandrung kepadanya. Sementara induk partainya sudah memasang "barrier" komunikasi politik sehingga terlihat kaku dan angkuh.
PDI Perjuangan terkesan tidak memiliki keinginan kuat untuk membangun koalisi politik secara terbuka dan egaliter. Apalagi secara aturan main, dengan modal raihan 128 kursi DPR RI atau senilai 22,26 % PDIP sudah memenuhi syarat untuk mengusung pasangan capres-cawapres tanpa harus berkoaliisi.
Baca juga : Ditlantas Polda Metro Sekat 11 Titik Malam Tahun Baru
Tampilan di media memang terlihat beberapa petinggi PDIP sibuk melakukan komunikasi dengan pimpinan Partai Golkar, PAN, PKB, bahkan dengan Partai Demokrat. Hasil akhirnya, tanggal 13 Agustus 2023, bertempat di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, Partai Gerindra, PKB, Partai Golkar, dan PAN deklarasi bersama menyatakan mengusung Prabowo sebagai calon presiden pada Pilpres 2024. Semua sudah terjadi, Ganjar kehilangan daya pikat. PDIP hanya mampu menggandeng PPP, itu pun masih menyisakan syarat Sandaga Uno diterima menjadi cawapres mendampingi Ganjar.
Politik hitam putih ternyata tidak selamanya berbuah manis. Ganjar dan PDIP seharusnya mengevaluasi langkah-langkah politiknya selama ini. Boleh saja PDIP meyakini sudah terbiasa berjuang sendiri, tapi fakta membuktikan PDIP selalu gagal aaat memaksakan mengusung kadernya sendiri, seperti di Pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Ganjar dan PDIP harusnya sadar, bahwa Jokowi yang selama ini hanya dipandang sebagai "petugas" partai ternyata memiliki pengaruh politik lebih besar dan masih menjadi magnet elektoral. Sayangnya kebutuhan politik itu dikesampingkan oleh Ganjar dan PDI Perjuangan. Apa yang dibutuhkan oleh Ganjar dan PDI Perjuangan sejatinya ada pada sosok Jokowi.
Biar bagaimana pun Jokowi masih kader PDI Perjuangan dan itu merupakan keunggulan yang dimiliki oleh Ganjar dan PDIP. Masa pendaftaran capres dan cawapres sekira dua bulan lagi, masih ada waktu bagi Ganjar dan PDI Perjuangan untuk mengevaluasi dan memperbaiki pola komunikasi politik yang selama ini diterapkan.
Masih ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan politik yang sudah terjadi. Hattrick kemenangan PDI Perjuangan di Pemilu 2024 nanti dapat terwujud jika Presiden Jokowi masih menjadi bagian dari PDI Perjuangan, secara lahir dan batin. Seperti pada Pemilu 2014 dan 2019. ***